Kuliah Online Filsafat Ilmu pertemuan yang ke 8 ini membahas tentang " Konsep Dasar Ontologi " seperti kuliah yang lalu diharapkan mahasiswa ikut memberikan pemikiran yang didasarkan pada literatur bacaan buku tentang filsafat ilmu serta pemikiran atau pendapat yang lain dari artikel media internet maupun lainnya.
Untuk memudahkan membaca dan memahami pendapat atau mengungkapkan pikiran yang ditulis dan dituangkan kedalam kolom komentar perlu evaluasi penyajian bahasa, bahwa untuk memberikan penjelasan diharapkan menggunakan bahasa analisa ilmiah dengan merujuk pada kaidah kebahasaan yang bersifat standar atau baku, sehingga dalam merangkai kata pada satu kalimat itu harus mengandung makna yang bisa difahami pembaca, yaitu dengan cara membuat struktur kalimat berdasarkan urutan subjek-predikat dan Objek.
Materi kuliah:
" Konsep Dasar Ontologi"
tentang
memahami Hakikat mengenai adanya eksistensi.
tentang
memahami Hakikat mengenai adanya eksistensi.
Pemikiranya;
Yang dimaksud dengan Ontologi dalam pengertian secara terminologi yaitu mengkaji tentang hakikat bahwa segala sesuatu yang realitas itu memiliki sifat universal, sifat yang menyeluruh. Diantara sifat itu ada satu sifat yang disebut kebenaran hakiki yang akan menjadi standar kebenaran lain, sedangkan ada pula yang menjelaskan bahwa hakikat adalah untuk memahami adanya eksistesi.
Hakekat itu kebenaran yang bersifat mendasar, yaitu tetap tidak pernah berubah sehingga bisa difaralelkan dengan kebenaran yang lain sebagai standar acuan.
Dalam filsafat, ketika berbicara tentang hakekat itu punya pengertian bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas yang bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia atau yang dapat difahami sebatas kemampuannya.
kemudian Eksistensi
menurut Bapak gerakan eksitensialis Kierkegaard bahwa eksistensi
manusia itu "ada", tapi bukan "ada" dalam arti "statis" atau dalam
keadaan diam, jadi apa pengertian "ada" dalam eksistensi menurut
pemikiran kalian. Hakekat itu kebenaran yang bersifat mendasar, yaitu tetap tidak pernah berubah sehingga bisa difaralelkan dengan kebenaran yang lain sebagai standar acuan.
Dalam filsafat, ketika berbicara tentang hakekat itu punya pengertian bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas yang bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia atau yang dapat difahami sebatas kemampuannya.
Pembahasan;
Apakah kalian punya pendapat lain mencari makna hakikat dan eksistensi yang lain. Hakikat ini seperti apa dalam pengertian dasarnya? apakah memang yang ada di dunia atau segala sesuatu yang ada yang dapat disentuh alat indera itu sudah bisa dikatakan dan termasuk dalam katagori hakikat?
Kalian
sependapat atau tidak apabila sekelompok orang nonton sinetron dengan
jalan cerita yang panjang dan berliku akan membuat tafsiran akhir
berbeda, mengapa demikian ya? lalu siapa yang tahu maksud dan tujuan
dari dari jalan cerita itu? bila ada yang tahu maksud dari sinetron itu berarti dia tahu
tentang hakekat, para penonton itu ibarat
para filosof yang hanya berupaya meraba raba.
Tentang kebenaran, ada kebenaran hakiki, ada kebenaran sejati mungkin juga kebenaran palsu, mengapa hidup di dunia ini dihadapkan pada kebenaran yang berbeda seperti itu, bagaimna dengan pendapatmu.
Catatan;
Yang ikut membahas dan memberikan pendapat pada materi konsep dasar ontologis ini adalah menjadi bukti absensi Mahasiswa Semester II mengikuti kuliah Filsafat Ilmu hari ini.
Catatan;
Yang ikut membahas dan memberikan pendapat pada materi konsep dasar ontologis ini adalah menjadi bukti absensi Mahasiswa Semester II mengikuti kuliah Filsafat Ilmu hari ini.
Konsep Dasar Ontologi
Istilah ontologi berasal dari
bahasa Inggris ‘ontology’, meskipun akar kata ini berasal dari
Yunani on-ontos artinya ada keberadaan dan kata logos artinya
studi atau ilmu.
Adapula yang menjelaskan bahwa Istilah
“ontologi”, secara bahasa berasal dari bahasa yunani yaitu, “ontos
dan logos”. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan
logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Ontologi dalam pengertian
terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau
realitas yang ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi.
Jadi antara pengertian etimologi dan terminologi tidak terlalu jauh berbeda,
karena arahnya adalah tertuju pada hakikat.
Hakikat itu bisa bermakna sesuatu “hal yang terdalam dari segala suatu atau asal
muasal terdalam dari segala suatunya” dan untuk sampai kepada pengetahuan serta
pemahaman sesungguhnya tentang “hakikat” menurut pendapat saya, maka mau tidak
mau, suka atau tidak suka seseorang harus masuk ke dunia agama.
Sebagai contoh dari
hakekat itu adalah “kebenaran hakiki”,
artinya kebenaran yang bersifat
mendasar, tetap, dan tidak berubah, sehingga juga bisa kebenaran hakiki itu diparalelkan
dengan “kebenaran yang
sebenarnya”, dan sebagai lawanya adalah “kebenaran palsu” atau sesuatu yang dianggap
benar padahal tidak, lawan dari suatu yang tidak hakiki karena sifatnya yang
temporer-berubah ubah dari waktu ke waktu serta berubah oleh berbagai situasi
dan keadaan, begitu juga yang disebut “kebahagiaan hakiki” artinya bisa diparalelkan dengan
kebahagiaan yang sebenarnya, ada lagi kebenaran sejati, yang dilawankan dengan
‘kebahagiaan palsu atau semu’, demikian pula dengan adanya berbagai bentuk
kesejatian lain seperti ‘keindahan sejati’, ‘cinta sejati’ dls. adanya istilah
‘sejati’ itu menunjukkan adanya ‘yang tidak sejati, yang bukan sebenarnya, yang
bukan sesungguhnya, yang bersifat permukaan, bersifat relatif dan temporer’.
Mengenai ‘Ilmu hakikat’ itu adalah jalan menuju kearah
pemahaman terhadap ‘yang sejati, yang sesungguhnya, yang tetap, yang tak
berubah. Karena
itu untuk ilmu hakekat, hanya Allah lah yang bisa memberi gambaran utuh, menyeluruh
tentang makna pengertian 'hakikat' artinya, pengetahuan menyeluruh
tentang hakikat itu tidak akan dapat manusia peroleh dalam dunia sains maupun
filsafat. Sains
hanya menelusuri dunia alam lahiriah dan materi saja .
Selanjutnya, Kata eksistensi
berasal dari kata Latin Existere, dari kata “ ex “ artinya keluar,
“sitere” artinya membuat berdiri,
apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa yang dialami, konsep ini
menekankan bahwa sesuatu itu ada.
Dalam konsep eksistensi, adalah suatu proses yang dinamis,
suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu
sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi.
Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal
dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada
kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Satu-satunya
faktor yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Fakta dalam
bahasa
Latin: factus artinya segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia
atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Lebih
luas lagi Fakta adalah pernyataan yang menampilkan
situasi riil dari sebuah masalah ataupun kejadian. Karena hal inilah, bisa
dikatakan bahwa kebenaran sebuah fakta itu karena sudah teruji. Di dalam fakta,
tidak ada lagi pendapat antara orang yang satu ataupun yang lain, yang ada
hanyalah situasi nyata yang memang telah terbukti dan terverifikasi.
Eksistensi manusia adalah tema sentral dalam filsafat
eksistensialisme. Eksistensialis Kierkegaard bertanya, apa yang membedakan
manusia dengan binatang? Manusia menyadari dan mempertanyakan keberadaannya,
eksistensinya. Sementara hewan itu tidak. Disini eksistensi mendahului esensi
maksudnya hakikat, inti tentang dirinya. Filsafat seperti ini
pada dasarnya adalah protes terhadap pandangan bahwa manusia adalah benda serta
tuntutan agar eksistensi personal seseorang harus diperhatikan secara serius.
Setiap hal yang ‘ada’ itu
mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten. Dengan
demikian menurut Eksistensialis Kierkegaard, menegaskan bahwa yang
pertama-tama penting bagi keadaan manusia, yakni keadaannya sendiri atau
eksistensinya sendiri. Ia menegaskan bahwa eksistensi manusia bukanlah ‘ada’
yang ‘statis’ artinya
dalam keadaan diam, tidak bergerak, tidak aktif, tidak berubah keadaannya,
tetap, melainkan ‘ada’ yang ‘menjadi’. Ada dalam arti terjadi
perpindahan dari ‘kemungkinan’ ke ‘kenyataan. Apa yang semula berada sebagai
kemungkinan berubah menjadi kenyataan. Gerak ini adalah perpindahan yang
bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan. Ini terjadi
karena manusia mempunyai kebebasan memilih.
Dengan demikian eksistensi manusia
adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti
muncul dalam suatu perbedaan, yang harus dilakukan tiap orang bagi dirinya
sendiri.
Kierkegaard menekankan
bahwa eksistensi manusia berarti berani mengambil keputusan yang menentukan
hidup. Maka barang siapa tidak berani mengambil keputusan, ia tidak akan hidup
bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Menurut Zainal Abidin (2008) Eksistensi
tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan
atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan
potensi-potensinya. Oleh sebab itu, arti istilah kata eksistensi analog dengan
‘kata kerja’ bukan ‘kata benda’.
Eksistensi adalah menjadi milik
pribadi secara utuh. Tidak ada dua individu yang identik. Oleh sebab itu,
eksistensi adalah milik pribadi, yang keberadaannya tidak bisa disamakan dengan
satu sama lainnya.
Dalam Filsafat, ketika berbicara tentang hakikat itu
bersifat terbatas, artinya melihat sesuatu yan ada hanya sebatas yang bisa dijangkau
oleh akal fikiran manusia dan dapat fahami sebatas pada kemampuannya. Sedangkan
hakikat itu dari segala suatunya sudah
berada diluar wilayah logika atau bukan wilayah logika, karena eksistensi
keberadaan hakikat tidak dibuat serta tidak ditentukan oleh logika manusia
melainkan oleh ketetapan sang pencipta. Sebagai contoh, lagika tentang
hakikat manusia itu berasal dari tanah, sedangkan hakikat hidup dan
kehidupannya, mati dan kematiannya itu adalah bermakna ujian, maka hal-hal
seperti itu tidak ditentukan atau tidak ditetapkan atau dikonsepsikan oleh
logika atau oleh dunia sains dan filsafat, melainkan dinyatakan oleh sang
pencipta.
Sang pencipta memiliki
serta memegang hakikat dari seluruh yang nampak kedalam pengalaman dunia
inderawi dan hakikat demikian dapat didalami serta difahami hanya oleh orang
orang yang mau mendalami dan tentu memegangnya.
Analoginya atau persamaanya; bila sekumpulan orang menonton sebuah sandiwara
diatas panggung dengan jalan ceritera yang panjang dan berliku maka tiap
penonton kelak mungkin akan berupaya membuat tafsiran sendiri sendiri
atas makna ceritera sandiwara itu, tetapi hakikat yang sesungguhnya dari makna
ceritera sandiwara itu ada di tangan sang pembuat ceriteranya dengan kata lain
sang pembuat ceritera itulah yang memegang 'hakikat' sesungguhnya dari makna
ceritera yang dibuatnya, para penonton ibarat para filosof yang hanya berupaya
meraba raba.
Maka persis seperti itulah logika-logika manusiawi seperti
yang lahir dari dunia filsafat yang mencoba membuat tafsiran atas berbagai
realitas kehidupan, yaitu ibarat para penonton sandiwara yang mencoba membuat
tafsiran sendiri-sendiri atas jalan ceritera yang diamatinya tetapi hakikat
atas berbagai realitas kehidupan tentu saja dipegang oleh sang penciptanya.
Dengan kata lain, realitas terdalam 'hakikat' dari jalan
ceritera sandiwara yang membuat ceritera sandiwara itu bisa eksis diatas
panggung ada ditangan sang pembuat ceriteranya dan karenanya sebagaimana juga
opini-opini, tafsiran-tafsiran serta filosofi-filosofi manusiawi, maka tafsiran
para penonton sandiwara itu kebenarannya bersifat spekulatif, tidak hakiki,
karena kebenaran 'hakiki' seputar jalan ceritera sandiwara itu dipegang oleh
sang pembuatnya sendiri
Dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan, maka ontologi adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan
ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan adalah yang
memiliki eksistensi, yaitu yang “ada” itu.
Ontologi adalah ilmu
pengetahuan yang paling kompleks dan paling menyeluruh. Berbicara ontolog dalam
ilmu filsafat merupakan hal yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitannya
dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang diteliti,
wujud hakiki objek tersebut, hubungan antara objek dengan daya tangkap manusia
(berfikir, merasa dan mengindra), dan mendapatkan hasil. (Jujun S. Suriasumantri, 1985:34).
Secara ontologis, ilmu membatasi
ruang lingkup keilmuannya hanya daerah-daerah yang berada dalam jangkauan
pengalaman manusia. Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan
objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat
mengubah kodrat manusia.
Menurut Sidi Galjaba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari
kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan.
Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar,
ontologi merupakan tidak selalu berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada
logika semata.
Dalam ilmu ontologi terdapat juga
pengetahuan-pengetahuan yang kita jadikan landasan dengan cara ilmu membuat
beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap
benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya.
Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi dasar. Asumsi pertama, menganggap bahwa objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu
sama lain, seperti dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam
jangka waktu tertentu, karena kegiatan keilmuan bertujuan untuk mempelajari
tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga,
ilmu menganggap bahwa setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu
yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama.
Menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1984/1985 : 88), mengatakan bahwa Secara ontologis ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada
dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas
pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain.
Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang
mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup
batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan
asas epistemologi keilmuan yang masyarakatkan adanya verifikasi secara empiris
dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara
ilmiah.
sumber : Susanto, A. (2011). FilsafatI lmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.
sumber : Susanto, A. (2011). FilsafatI lmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.