Ayolah mahasiswa semester 2 yang ikut membahas dan memberikan pendapat tentang konsep dasar aksiologi ini termasuk mahasiswa yang cerdas membuka wawasan keilmuan, kemudian dimasukan dalam kolom komentar akan menjadi bukti ikut kuliah pertemuan ke 10.
Penjelasan lebih lanjut
tentang
Konsep Dasar Aksiologi
Bila dipandang dari sudut bahasa atau
etimologi, Aksiologi adalah
istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau
wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu yang berarti teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud
adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai
Aksiologi adalah asas
mengenai cara begaimana menggunakan ilmu pengtahuan yang secara epistemologi
diperoleh dan disusun. Menurut kamus “The
Random House Dictionary of the English Language”: aksiologi adalah merupakan
cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai, etika, estetika.
1. Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen,
artinya sesuatu yang melengkapi atau menyempurnakan dan sekaligus menjadi atau sebagai
lawan konsep fakta. Fakta adalah pernyataan yang menampilkan situasi
riil dari sebuah masalah ataupun kejadian. Karena hal inilah, bisa dikatakan
bahwa kebenaran sebuah fakta yang sudah teruji. Di dalam fakta, tidak ada lagi
pendapat antara orang yang satu ataupun dengan yang lain. Yang ada hanyalah
situasi nyata yang memang telah terbukti dan terverifikasi.
Dalam filsafat memang hanya mengetahui tentang
apa itu fakta, akan tetapi dalam memandang fakta harus pula dibarengi dengan mencari
nilai, disinilah kebenaran fakta akan teruji sehingga menhasilkan kebenaran
nilai. Nilai adalah anggapan seseorang terhadap sesuatu hal yang
berkarakteristik abstrak, namun hal tersebut menjadi pedoman bagi kehidupan
dalam bermasyarakat. Nilai erat kaitannya dengan tindakan sosial yang dilakukan
oleh manusia kepada lingkungan sekitar. Secara umum, nilai dapat didefinisikan
sebagai suatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Contohnya memberikan
pertolongan kepada orang dalam kesulitan itu merupakan proses adaptasi
yang dilakukan manusia dalam wujud melakukan sosialisasi antara masyarakat,
pertolongan ini akan memberikan penilaian yang baik. Sedangkan mencuri
itu satu perbuatan mengambil milik orang lain dan terhadap pencuri akan di
dorong untuk dihukum lantaran merugikan pihak lainnya sehingga akan dapat
penilaian orang banyak menjadi satu perbuatan yang buruk. Contohnya di atas,
dapat disimpulkan bahwasanya nilai itu akan berdampak beranekaragam bentuknya,
yang tidak bisa saling terkaiat satu sama lainnya. Akan tetapi hubungan proses
penilaian juga akan terlihat pada tindakan sosial yang dilakukan manusia.
Manusia dikenal
sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan manusia istimewa
dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah
yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dia
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang
buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan
berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan dengan
nilai. Semua yang dikerjakan manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Salah satu kajian di
dalam filsafat adalah aksiologi. Pada
pembahasan aksiologi ini, maka manusia akan berfikir “apakah yang saya melakukan
ini pantas atau tidak?” atau muncul pertanyaan “apakah benda itu bernilai
karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?”.
2.
Etika
Secara etimologis, kata etika berasal dari
bahasa Yunani kuno, yaitu “Ethikos”
yang artinya timbul dari suatu kebiasaan. Dalam hal ini etika memiliki sudut
pandang normatif dimana objeknya adalah manusia dan perbuatannya.
Norma adalah ketentuan yang mengatur
tingkah laku
manusia dalam kehidupan masyarakat. Orang yang ingin hidup harmonis maka wajib
mematuhi aturan atau ketentuan tersebut jika tidak ingin mendapatkan sanksi
baik hukum atau sosial.
Pengertian norma sendiri
adalah tatanan atau pedoman yang diciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang
sifatnya memaksa atau manusia wajib tunduk pada peraturan tersebut.
Jadi Etika adalah suatu norma atau
aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku di masyarakat bagi
seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk.
Ada juga yang menyebutkan pengertian
etika adalah suatu ilmu tentang kesusilaan dan perilaku manusia di
dalam pergaulannya dengan sesama yang menyangkut prinsip dan aturan tentang
tingkah laku yang benar. Dengan kata lain, etika adalah kewaijban dan
tanggungjawab moral setiap orang dalam berperilaku di masyarakat. Contoh Etika;
- Mengucap
salam saat bertamu ke rumah orang lain.
- Mencium
tangan kedua orang tua ketika akan beraktivitas.
- Membuang
sampah di tempat sampah.
- Memohon
maaf ketika melakukan kesalahan.
3. Estetika
“Estetika” secara etimologis, berasal
dari bahasa Latin “aestheticus” atau bahasa
Yunani “aestheticos” yang memiliki arti hal-hal yang dapat
diserap oleh panca indera manusia. Ada orang yang menyebutkan arti
estetika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang
keindahan yang terdapat di dalam seni dan alam semesta.
Contoh
estetika, Lukisan memiliki nilai estetika yang tinggi, maka dari itu banyak
yang tertarik untuk membeli lukisan tersebut meskipun harga lukisan sangat
mahal.
Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa estetika sangat berkaitan dengan
perasaan manusia, khususnya perasaan yang indah atau perasaan positif.
Keindahan yang dimaksud di sini bukan hanya sesuatu yang dapat dilihat
bentuknya, tapi juga makna atau arti yang terkandung di dalamnya.
Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai
the theory of value atau teori nilai.
Yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan
tujuan (means and ends).
Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good). Tatkala yang baik
terindefikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas,
yakni memakai kata-kata atau konsep “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should).
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1985
: 34-35) Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai
secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik,
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral atau profesional?.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan harus
digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu
dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian
atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah
yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang
berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu
tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.
Aksiologi terdiri dari analisis
tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan
atau menemukan suatu teori nilai.
Secara etimologis aksiologi berasal
dari kata axia (nilai,
value:inggris), dan logos (perkataan,
pikiran, ilmu). Untuk itu, aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat nilai, yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.
Menurut Theodore Brameld (20
Januari 1904 - 1987) adalah seorang filsuf dan pendidik terkemuka yang mendukung filosofi pendidikan rekonstruksi sosial. Aksiologi
adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value) yang dibedakan
dalam tiga bagian, yaitu;
1. Moral Conduct, tindakan moral,
bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
Banyak perbuatan manusia terkait dengan tindakan
baik dan buruk, tapi tidak semua tindakan adalah terkait baik dan buruk dari segi etika. Misalnya menggaruk kepala dengan tangan kiri, tidak ada
kaitannya dengan moralitas. Menerima gaji, menggunakannya terlebih dahulu
untuk hobi atau kesenangan bersama teman-teman dan baru memberi sisanya pada
isteri, ini terkait moral. Karenanya,
disebut tindakan moral.
Jadi, tindakan
moral adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja dan terkait
dengan penilaian baik dan buruk. Inilah
yang dipersoalkan oleh etika.
Sejauh ini kesimpulanya
adalah: manusia dapat menentukan
tindakan, ia dapat memilih tindakannya.
Namun, yang dinilai etika hanya tindakan
yang terkait moral, dan disebut sebagai tindakan moral. Manusia dengan kehendak bebas dapat melakukan
pilihan moral.
Dalam pada itu
diakui adanya suatu situasi yang mungkin mengurangi atau bahkan menghilangkan kehendak bebas. Faktor internal
dalam diri manusia, misalnya: ketakutan,
kegelisahan, kebingungan, nafsu, dan kebiasaan. Semua ini menyulitkan kehendak
mengadakan pilihan. Ingin
berhenti merokok atau bangun pagi, misalnya. Walau telah memilih
untuk berhenti merokok atau bangun lebih pagi, nyatanya tetap merokok dan
bangun siang. Hakikatnya, suatu kebiasaan harus diganti dengan kebiasaan baru.
Tanpa itu, kebiasaan lama tidak akan berubah, betapa pun menginginkannya.
Jadi, kebiasaan bangun siang harus diganti dengan
kebiasaan bangun pagi. Tanpa menumbuhkan kebiasaan baru untuk bangun pagi,
dijamin akan tetap berada pada kebiasaan lama: bangun siang. Artinya, apa
pun juga, pilihan kehendak bebas tetap ada
pada diri Anda, bukan?
Sedangkan faktor eksternal yang mungkin
menghambat kehendak bebas, misalnya: intimidasi, ancaman, paksaan, siksaan
fisik maupun mental, atau penyakit.
Masalahnya, sebagaimana diungkap, tindakan manusia sangat beragam. Namun
tindakan moral hanya terkait pada penilaian baik-buruk perbuatan dari segi etika: Anda menemukan
dompet di taman, akankah Anda kembalikan dompet itu dengan utuh? Anda seorang dokter, akankah Anda lakukan
aborsi atas gadis itu? Anda seorang wartawan, akankah Anda beritakan peristiwa
itu? Setiap pagi ibu Anda yang sakit harus diradioterapi dan tidak ada yang
mengantarnya ke rumah sakit, haruskah Anda tetap bangun siang dan ketika
dibangunkan menyampaikan “pesan kemarahan”, verbal maupun nonverbal?
Dalam melakukan perbuatannya, manusia bebas
melakukan pilihan. Tanpa kebebasan, tidak ada kesengajaan, tidak ada penilaian
moral dari segi etika. Sebaliknya, dalam kesengajaan, ada penilaian moral atau
disebut juga penilaian etis.
Dalam tindakan yang sengaja itu, dalam hubungan
antarmanusia, ia terkait dengan hak dan kewajiban: apakah hak Anda untuk bangun siang ataukah
kewajiban Anda untuk bangun pagi guna mengantarkan ibu ke rumah sakit?
Maka, penilaian
moral diartikan sebagai penilaian
atas suatu tindakan moral. Dalam hal
ini, yang menilai adalah budi manusia, dan yang
memutuskan serta menghakimi adalah hatinurani. Artinya, alat yang
berfungsi sebagai penilai moralitas adalah budi dan diputuskan oleh hatinurani
manusianya sendiri.
2. Esthetic Expression, ekspresi
keindahan yang melahirkan estetika.
Ekspresi merupakan pengungkapkan atau proses menyatakan sesuatu
yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya.
Ekpresi
atau menyatakan ungkapan senang atau tidak senang adalah ekspresi atau ungkapan
yang diucapkan ketika merasa senang dan bahagia atau sebalikan ketika tidak
menyukai atau tidak senang dengan suatu hal.
Sedangkan
keindahan dalam arti physical hanya dapat dimengerti oleh seseorang melalui proses keterlibatan
perasaan dan penalarannya terhadap proses dan hasil karya seni itu. Kehadiran
sesuatu yang indah dalam hidup seseorang akan membuat hidupnya demakin berwarna
begitu juga dengan sebuah karya seni bila ada sebuah keindahan akan membuat
apresiator merasa berwarna dalam menikmati karya tersebut. (sarwana 09.blogspot.co.id).
Jadi ekspresi
keindahan ini adalah satu ungkapan perasaan yang menyatakan bahwa ada sesuatu yang
disentuh lewat alat indera itu mengandung karyaseni yang dapat membangkitkan perasaan daya tarik dan ketenteraman
emosional. Karena itu ekspresi keindahan adalah pengalaman subyektif, sering
dikatakan bahwa beauty is in the eye of the beholder atau
"keindahan itu berada pada mata yang melihatnya.
3. Socio-political Life, kehidupan
sosial politik, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
Istilah sosial politik terdiri
berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan politik. Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari masyarakat, kelompok – kelompok sosial, dan tingkah laku individu
baik individual maupun kolektif dalam konteks sosial. Politik adalah ilmu yang
mempelajari kekuasaan sebagai konsep inti. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas,
dan komando di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat
nasional.
Sosial dan politik mempunyai
hubungan dan ketekaitan yang sangat erat. Seperti yang kita ketahui, bahwa
dunia politik pasti berkenaan dengan dunia sosial masyarakat. Masyarakat
menjadi penghubung antara sosial dan politik itu sendiri. Di dalam kegiatan politik,
kita tidak bisa lepas dari partisipasi masyarakat karena masyarakatlah yang
menjadi pelaku politik tersebut. Begitu juga sebaliknya, dalam kehidupan sosial
kita tidak bisa lepas dari unsur – unsur politik. Contoh kehidupan
sosial politik ini dapat dilihat kehidupan dimasyakat yaitu gotong royong,
kerja bakti bersama, kematian dan pemilihan pemimpin lingkungan masyarakat.
Aksiologi diartikan juga sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus, seperti epistimologi, etika dan estetika.
Demikianlah aksiologi terdiri dari
analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai, sehingga kegunaan aksiologi ini
sbb;
1. Aksiologi merupakan
Nilai Kegunaan Ilmu
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa aksiologi merupakan dimensi yang
berkaitan dengan ilmu dan moral, atau nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan,
dan tanggung jawab sosial ilmuan. Karena itu, salah satu aspek pembahasan
tentang integrasi keilmuan tidak dapat lepas dari kajian aksiologi ilmu.
Karena kegunaan ilmu tidak lepas dari kepentingan manusia, artinya ilmu
harus membawa dampak positif bagi manusia. Bukan sebaliknya membawa petaka bagi
manusia. Sebagaiman ungkapan Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun. S.
Suriasumantri bahwa “pengetahuan adalah
kekuasaan”. Pada titik ini layak kita mempertanyakan apakah kekuasaan itu
merupakan berkah atau justru petaka bagi umat manusia? Meskipun ilmu itu
sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, dan
memiliki sifat netral sehingga ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk,
namun semuanya tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.Oleh karena itu,
nilai kegunaan ilmu yang dapat dilihat pada kegunaan filsafat ilmu atau untuk
apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat
sebagai tiga hal, yaitu:
a. Filsafat sebagai
kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran: jika seseorang
hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu
dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau
sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah
kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
b. Filsafat sebagai pandangan
hidup: filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima
kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan
hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
c. Filsafat sebagai
metodologi dalam memecahkan masalah: dalam hidup ini kita menghadapi banyak
masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita
tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebi enak bila
masalah-masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
muai dari cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas, penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung ada pendapat individu,
melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila
subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran mansia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki adal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objetivitas ilmu sudah menjadi ketentuan umum bahwa ilmu
harus bersifat onjektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan
ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada onjektifitasnya, seorang ilmuan
harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat
idiologi, agaman dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang
ilmuan bekerja, dia hanya tertuju kepada roses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif yang ada.
2. Moralitas Sebagai
Dasar Pijakan Manusia
Hal mendasar yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran moral, adalah persoalan
yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang daoat hidup dengan cara
yang baik setiap saat.
Mengingat bahwa manusia itu terlahir dalam keadaan
“baik”, sehingga menjadi tugasnya untuk selalu mempertahankan kebaikan tersebut
terutama dalam hubungan sosialnya. Maka tanggung jawab terutama dari
eksistensinya di dunia adalah bagaimana memfungsikan dirinya sedemikian rupa
agar dapat meraih nilai-nilai moral menjadi miliknya yang sejati, sehingga ia
pantas disebut sebagai manusia.Penerimaan sebuah nilai, erat kaitannya dengan
upaya-upaya rasional manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang
meyakinkan dirinya atau kebenarannya, sehingga ia menemukan pegangan hidup yang
akan menuntun dirinya menjalani keidupannya di dunia. Sehingga dengan cara
demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat.Oleh
karena itu, pertanyaan spesifik yang diajukan adalah: seperti apa “yang baik” atau “yang tidak baik”, dan “yang
pantas” serta “ yang tidak pantas” itu? Pertanyaan-pertanyaan ini berkenaan
dengan alasan-alasan dan motif-motif seseorang dalam melakukan tindakan moral.
Ketika seseorang melihat tindakan moral dalam konteks produk dari sebuah
perilaku, maka dalam hal ini ia melihat pembenaran moral dalam konsekuensi
sebuah tindakan. Mereka dalam hal ini melihat bahwa tidak ada suatu yang
bernilai “baik” akan melahirkan kejahatan, dan sebaliknya bahwa tidak akan ada
suatu yang bernilai “jahat” akan melahirkan kebaikan. Sebaliknya, bagi mereka
yang berkeyakinan bahwa perilaku moral dapat dilihat dari nilai-nilai yang ada
pada proses, dengan mengatakan jika suatu tindakan dilalui dengan penuh
pertimbangan dan procedural, maka akan melahirkan produk moral. Sebaliknya,
apabila sebuah tindakan tidak melalui proses dan prosedur moral, makan akan
terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam berperilaku, sehingga dengan demikian
moralitas selalu tampil dalam berbagai sendi, baik dalam proses maupun dalam
produk. Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat perkembangan
sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Moralitas
tumbuh dan berkembang dalah kehidupan manusia sebagai pembuka bagi kehidupan
yang lebih maju ke arah keidupan yang membahagiakan dan enuh makna. Oleh karena
itu, problem moral bukan sekedar masalah moral itu sendiri, tetapi juga
menyangkut persoalan sosial, ekonomi dan juga polotik. Pra pemikir moral banyak
memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, seperti yang tergabung dalam aliran
deontologis, ojektif dan non-naturalistik dan yang termasuk dalam aliran
teleologis, subjektif dan naturalistik yang kesemuanya memiliki epistemologi
yang berbeda dalam memberikan jawaban atas pembenaran nilai-nilai moral.
sumber : Susanto, A.(2011).
Filsafat Ilmu.Jakarta: PT Bumi Aksara.